“Janganlah mencintai
sesuatu dengan berlebihan…bisa jadi kamu akan membencinya di kemudian
hari. Dan bencilah sesuatu dengan sewajarnya..bukan tidak mungkin esok
hari kamu akan mencintainya”
Pernah mendengar kalimat seperti di atas kan?
Dulu saya tak pernah mengerti dengan kalimat
tersebut. Jelas sekali bahwa kata “cinta” dan “benci” adalah dua kata
yang saling berlawanan. Mana mungkin cinta jadi benci atau benci jadi
cinta. Hil yang mustahal, begitu kata Asmuni.
Bagi saya saat itu, kesan pertama terhadap
hal apapun akan selalu terekam dalam otak dan hati. Bila kesan pertama
sudah suka, ya pasti suka untuk seterusnya. Paling banter kesukaan itu
meredup dan menjadi “biasa saja”, tetapi tak akan pernah menjadi “tidak
suka” Begitu pula sebaliknya.
Ternyata apa yang saya pikirkan selama ini
tak sepenuhnya benar. Dalam perjalanan waktu, prinsip yang saya pegang
teguh tersebut menjadi hancur berantakan dalam beberapa hal.
Ambil contoh paling sederhana. Dari kecil
saya anti dengan yang namanya buah alpukat. Meskipun ibu dan kakak saya
suka membuat jus alpukat dan saya sering ditawari, tak sedikitpun saya
tertarik untuk mencobanya. Boro-boro mencobanya, bau nya yang saat itu
saya anggap seperti kotoran hewan membuat saya enggan meliriknya.
Saya lupa dari kapan awalnya, yang jelas saya
tertarik untuk mencobanya dalam bentuk jus. Kebetulan sekali saat itu
jus yang saya cicipi itu (kata orang) memang enak. Alpukatnya kental dan
susu coklatnya terasa sekali. Pada awalnya aneh, tapi beberapa kali
mencicipinya membuat saya ketagihan. Sekarang saya bisa mengklaim bahwa
buah alpukat adalah buah favorit saya.
Yang kedua adalah sosok bernama Jose
Mourinho. Pelatih bola asal Portugal yang menyebut dirinya “The Special
One” ini memang sangat kontroversial. Saya mengenal namanya waktu
melatih Chelsea sekitar tahun 2004 – 2005. Cara dia perang syaraf ke
lawannya saat jelang pertandingan, bila diistilahkan dalam kampanye
politik, bisa disebut sebagai “Black Campaign”. Ada saja ulahnya untuk
menurunkan mental baik pelatih maupun pemain lawan dengan cara berkoar
di media. Caranya yang licik adalah modal saya untuk membencinya.
Meskipun prestasinya di Chelsea tak bisa
dianggap sebelah mata, saya tetap tak bersimpati padanya. Setelah
berpindah ke Inter Milan, lambat laun saya mulai mengamati sepak
terjangnya. Dan benar saja, ketika treble winners disandang
klub asal Itali tersebut, pikiran saya mulai terbuka. Pelatih satu ini
bukan orang sembarangan. Meskipun tak bisa dibilang fans beratnya,
kebencian saya memudar perlahan-lahan padanya.
Seperti yang saya tulis di awal, kesan
pertama adalah apa yang menancap di otak kita. Dengan demikian, bila
mendengar kata yang menyangkut hal tersebut, kita seperti digiring oleh
system otak untuk berpikir seperti kesan pertama.
Mengenai pengalaman saya di atas, kebetulan
tema-nya sama : dari “tidak suka” menjadi “suka”. Otak mungkin bisa
berkata bahwa Mourinho itu manusia menyebalkan. Saking menyebalkannya,
jadilah saya seperti orang penasaran. Sedikit-sedikit mencari info
terlebih tentang segala kekurangannya, hanya untuk meyakinkan diri bahwa
dia itu tak pantas untuk disuka. Akibatnya, saya menaruh perhatian
khusus pada hal-hal yang saya tak sukai tersebut. Di luar kontrol
kesadaran, saya menjadikan “Mou” itu menjadi “penting”.
Bagaimana sebaliknya? Rasa suka yang
berlebihan memang mengabaikan segalanya. Positif melulu. Semuanya serba
oke. Akibatnya, bila yang tak diharapkan terpampang depan mata, bukan
lagi rasa yang “biasa”. Benci yang timbul adalah karena diri kita tak
pernah terima bahwa segala hal bisa memiliki kekurangan.
Cinta dan Benci. Suka dan tidak suka. Positif
dan negatif. Semuanya bertolak belakang, tetapi ternyata semua saling
berhubungan, hampir tak ada tembok pembatas..
“Satu-satunya kepastian di dunia ini adalah ketidak pastian itu sendiri”.
Tak ada kebenaran yang hakiki.